Jurnal Penelitian Skripsi 2

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

INTELLECTUAL CAPITAL: PERLAKUAN, PENGUKURAN DAN PELAPORAN (SEBUAH LIBRARY RESEARCH)

Tjiptohadi Sawarjuwono

Agustine Prihatin Kadir

Staf Pengajar Fakultas Ekonomi – Universitas Airlangga Surabaya

ABSTRACT

The changing paradigm from labor based business to knowledge based business has made an inclusion of human resources into an income statement. Among intangible assets, human resources, which is called intellectual capital (IC), becomes the core asset in a company. IC consists three basic elements, they are human capital, structural capital and customer capital. In fact, these are the real power of the company in producing, developing, and bringing the company to the future. Accordingly proponents agree to disclose these on the income statement. Unfortunately, accounting practice has not accounted for them. Whilst, IC describes the creation values, accounting practice does not have tools to identity, measures and disclose them on the annual reports. Therefore this research attempts to provide ideas and open nuance for accountants. This research employ a thick library research, an alternative research methodology that suitable to answer the research question. This research is conducted in depth discourse producing some methods for measuring and reporting IC that are practiced recently. The study concludes that methods of measurement IC have been classified into a financial and non-financial measurement. For the reporting purposes, it is needed a supplement to the income statement consisting an intellectual capital statement.

Keywords: intellectual capital, measurement of intellectual capital, reporting of intellectual capital, library research.

PENDAHULUAN

Globalisasi, inovasi teknologi dan persaingan yang ketat pada abad ini memaksaperusahaan-perusahaan mengubah cara mereka menjalankan bisnisnya. Agar dapat terus bertahan dengan cepat perusahaan-perusahaan mengubah dari bisnis yangdidasarkan pada tenaga kerja (labor-based business) menuju knowledge based business (bisnis berdasarkan pengetahuan), dengan karakteristik utama ilmu pengetahuan. Seiring dengan perubahan ekonomi yang memiliki karakteristik ekonomi yang berbasis

ilmu pengetahuan dengan penerapan manajemen pengetahuan (knowledge

management) maka kemakmuran suatu perusahaan akan bergantung pada suatu

penciptaan transformasi dan kapitalisasi dari pengetahuan itu sendiri.

Dalam sistem manajemen yang berbasis pengetahuan ini, maka modal yang

konvensional seperti sumber daya alam, sumber daya keuangan dan aktiva fisik

lainnya menjadi kurang penting dibandingkan dengan modal yang berbasis pada

pengetahuan dan teknologi. Dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi

maka akan dapat diperoleh bagaimana cara menggunakan sumber daya lainnya secara

efisien dan ekonomis, yang nantinya akan memberikan keunggulan bersaing (Rupert

1998). Berkurangnya atau bahkan hilangnya aktiva tetap dalam neraca perusahaan

tidak menyebabkan hilangnya penghargaan pasar terhadap terhadap mereka. (Rupert

1998) mengungkapkan bahwa ini tercermin dari banyaknya perusahaan yang memiliki

aktiva berwujud yang tidak signifikan dalam laporan keuangan namun penghargaan

pasar atas perusahaan-perusahaan tersebut sangat tinggi (Roos et al. 1997) seperti pada

tabel 1 juga mengungkapkan bahwa “the market value of these companies is many

times their net asset value, that is the value of their physical. The difference between

the two values is the company’s “hidden value”, which can be expressed as a percentage

of the market value”.

Tabel 1

Market Value and Assets (in billions of dollars)

Company Market

Value

Revenue Profits Net assets Hidden Value

General Electric 169 79 7.3 31 138 (82%)

Coca-cola 148 19 3.5 6 142 (96%)

Exxon 125 119 7.5 43 82 (66%)

Microsoft 119 9 2.2 7 112 (94%)

Intel 113 21 5.2 17 96 (85%)

(Sumber: Roos, Johan, Goran Roos, Nicola C. Dragonetti & Leif Edvinsson 1997:2)

Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa market value terjadi karena

masuknya konsep modal intelektual yang merupakan faktor utama yang dapat

meningkatkan nilai suatu perusahaan (Abidin 2000). Hal ini dapat kita lihat pada

aplikasi komputer yang diproduksi oleh Microsoft, dimana produk yang dihasilkan

dibuat berdasarkan kemmapuan modal intelektual dari karyawannya.

Implementasi modal intelektual merupakan sesuatu yang masih baru, bukan saja di

Indonesia tetapi juga dilingkungan bisnis global, hanya beberapa negara maju saja

yang telah mulai untuk menerapkan konsep ini, contohnya Australia, Amerika dan

negara-negara Skandinavia. Pada umumnya kalangan bisnis masih belum menemukan

jawaban yang tepat mengenai nilai lebih apa yang dimiliki oleh perusahaan. Nilai lebih

ini sendiri dapat berasal dari kemampuan berproduksi suatu perusahaan sampai pada

loyalitas pelanggan terhadap perusahaan. Nilai lebih ini dihasilkan oleh modal

intelektual yang dapat diperoleh dari budaya pengembangan perusahaan maupun

kemampuan perusahaan dalam memotivasi karyawannya sehingga produktivitas

perusahaan dapat dipertahankan atau bahkan dapat meningkat.

Di Indonesia, menurut (Abidin 2000) intellectual capital masih belum dikenal secara

luas. Dalam banyak kasus, sampai dengan saat ini perusahaan-perusahaan di

Intellectual Capital: Perlakuan, Pengukuran Dan Pelaporan (Sawarjuwono)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

37

Indonesia cenderung menggunakan conventional based dalam membangun bisnisnya,

sehingga produk yang dihasilkannya masih miskin kandungan teknologi. Disamping

itu perusahaan-perusahaan tersebut belum memberikan perhatian lebih terhadap

human capital, structural capital, dan customer capital. Padahal semua ini merupakan

elemen pembangun modal intelektual perusahaan. Kesimpulan ini penulis ambil

karena minimnya informasi yang penulis peroleh tentang modal intelektual di

Indonesia. Selanjutnya (Abidin 2000) menyatakan bahwa jika perusahaan-perusahaan

tersebut mengacu pada perkembangan yang ada, yaitu manajemen yang berbasis

pengetahuan, maka perusahaan-perusahaan di Indonesia akan dapat bersaing dengan

menggunakan keunggulan kompetitif yang diperoleh melalui inovasi-inovasi kreatif

yang dihasilkan oleh modal intelektual yang dimiliki oleh perusahaan. Hal ini akan

mendorong terciptanya produk-produk yang semakin favourable di mata konsumen.

Oleh karena itu modal intelektual telah menjadi aset yang sangat bernilai dalam

dunia bisnis modern. Hal ini menimbulkan tantangan bagi para akuntan untuk

mengidentifikasi, mengukur dan mengungkapkannya dalam laporan keuangan.

Laporan keuangan tradisional telah dirasakan gagal untuk dapat menyajikan

informasi yang penting ini. Bagi perusahaan yang sebagian besar asetnya dalam

bentuk modal intelektual seperti Kantor Akuntan Publik misalnya, tidak adanya

informasi ini dalam laporan keuangan akan menyesatkan, karena dapat

mempengaruhi kebijakan perusahaan. Oleh karena itu laporan keuangan harus dapat

mencerminkan adanya aktiva tidak berwujud dan besarnya nilai yang diakui. Adanya

perbedaan yang besar antara nilai pasar dan nilai yang dilaporkan akan membuat

laporan keuangan menjadi tidak berguna untuk pengambilan keputusan.

Konsep modal intelektual telah mendapatkan perhatian besar berbagai kalangan

terutama para akuntan. Fenomena ini menuntut mereka untuk mencari informasi

yang lebih rinci mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan modal intelektual

mulai dari cara pengidentifikasian, pengukuran sampai dengan pengungkapannya

dalam laporan keuangan perusahaan.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dan masih kurangnya studi modal

intelektual di Indonesia, maka penelitian ini akan mencoba mengkaji literatur-literatur

yang berkaitan dengan pengukuran dan pelaporan modal intelektual. Sedangkan

penelitian ini ditujukan untuk memperoleh pemahaman dan gambaran yang

komprehensif terhadap perkembangan pemikiran pengukuran modal intelektual serta

pengungkapannya dalam laporan keuangan perusahaan.

  1. KARAKTERISTIK MODAL INTELEKTUAL

Sebelum kita mengukur sesuatu, maka kita harus mengetahui apa yang akan kita

ukur. Begitupun halnya dengan modal intelektual, bagaimana seharusnya modal

intelektual didefinisikan. Hal ini membutuhkan suatu definisi yang secara umum

dapat diterima yang nantinya akan menjadi awal menuju standarisasi.

Klein dan Prusak menyatakan apa yang kemudian menjadi standar pendefinisian

intellectual capital, yang kemudian dipopularisaikan oleh Stewart (1994). Menurut

Klein dan Prusak “ … we can define intellectual capital operationally as intellectual

material that has been formalized, captured, and leveraged to produce a higher valued

asset” (Stewart 1994).

Menurut Sveiby (1998) “The invisible intangible part of the balance sheet can be

classified as a family of three, individual competence, internal structural, and external

Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 5, No. 1, Mei 2003: 35 – 57

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

38

structure”. Sementara itu Leif Edvinsson seperti yang dikutip oleh Brinker (2000:np)

menyamakan intellectual capital sebagai jumlah dari human capital, dan structural

capital (misalnya, hubungan dengan konsumen, jaringan teknologi informasi dan

manajemen).

2.1 Intellectual Capital = Human Capital + Structural Capital

The Society of Management Accountants of Canada (SMAC) mendefinisikan

intellectual assets sebagai berikut: In balance sheet, intellectual assets are those

knowledge-based items, which the company owns which will produced a future stream

of benefits for the company (IFAC 1998).

Sebenarnya masih banyak definisi dari modal intelektual menurut pakar dan

kalangan bisnis, namun secara umum jika diambil suatu benang merah dari berbagai

definisi intellectual capital yang ada, maka intellectual capital dapat didefinisikan

sebagai jumlah dari apa yang dihasilkan oleh tiga elemen utama organisasi (human

capital, structural capital, costumer capital) yang berkaitan dengan pengetahuan dan

teknologi yang dapat memberikan nilai lebih bagi perusahaan berupa keunggulan

bersaing organisasi.

Banyak para praktisi yang menyatakan bahwa intellectual capital terdiri dari tiga

elemen utama (Stewart 1998, Sveiby 1997, Saint-Onge 1996, Bontis 2000) yaitu:

  1. Human Capital (modal manusia)

Human capital merupakan lifeblood dalam modal intelektual. Disinilah sumber

innovation dan improvement, tetapi merupakan komponen yang sulit untuk diukur.

Human capital juga merupakan tempat bersumbernya pengetahuan yang sangat

berguna, keterampilan, dan kompetensi dalam suatu organisasi atau perusahaan.

Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk

menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orangorang

yang ada dalam perusahaan tersebut. Human capital akan meningkat jika

perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawannya.

(Brinker 2000) memberikan beberapa karakteristik dasar yang dapat diukur dari

modal ini, yaitu training programs, credential, experience, competence, recruitment,

mentoring, learning programs, individual potential and personality.

  1. Structural Capital atau Organizational Capital (modal organisasi)

Structural capital merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan dalam

memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung usaha

karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja bisnis

secara keseluruhan, misalnya: sistem operasional perusahaan, proses

manufakturing, budaya organisasi, filosofi manajemen dan semua bentuk

intellectual property yang dimiliki perusahaan. Seorang individu dapat memiliki

tingkat intelektualitas yang tinggi, tetapi jika organisasi memiliki sistem dan

prosedur yang buruk maka intellectual capital tidak dapat mencapai kinerja secara

optimal dan potensi yang ada tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dalam

upaya pengukuran elemen ini Edvinsson seperti yang dikutip oleh (Brinker 2000)

menyatakan hal-hal sebagai berikut:

  1. Value acquired process technologies only when they continue to the value of the

firm.

  1. Track the age and current vendor support for the company process technology

Intellectual Capital: Perlakuan, Pengukuran Dan Pelaporan (Sawarjuwono)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

39

  1. Measure not only process performance specifications but actual value

contribution to corporate productivity

  1. Incorporate an index of process performance ini relation to established process

performance goals

  1. Relational Capital atau Costumer Capital (modal pelanggan)

Elemen ini merupakan komponen modal intelektual yang memberikan nilai secara

nyata. Relational capital merupakan hubungan yang harmonis/association network

yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari para

pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari pelanggan yang loyal dan merasa

puas akan pelayanan perusahaan yang bersangkutan, berasal dari hubungan

perusahaan dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar. Relational

capital dapat muncul dari berbagai bagian diluar lingkungan perusahaan yang

dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut. Edvinsson seperti yang dikutip

oleh (Brinker 2000) menyarankan pengukuran beberapa hal berikut ini yang

terdapat dalam modal pelanggan, yaitu:

  • Customer Profile. Siapa pelanggan-pelanggan kita, dan bagaimana mereka

berbeda dari pelanggan yang dimiliki oleh pesaing. Hal potensial apa yang kita

miliki untuk meningkatkan loyalitas, mendapatkan pelanggan baru, dan

mengambil pelanggan dari pesaing.

  • Custumer Duration. Seberapa sering pelanggan kita berbalik pada kita? Apa

yang kita ketahui tentang bagaimana dan kapan pelanggan akan menjadi

pelanggan yang loyal? Serta seberapa sering frekuensi komunikasi kita dengan

pelanggan.

  • Customer Role. Bagaimana kita mengikutsertakan pelanggan ke dalam disain

produk, produksi dan pelayanan.

  • Customer Support. Program apa yang digunakan untuk mengetahui kepuasan

pelanggan.

  • Customer Success. Berapa besar rata-rata setahun pembelian yang dilakukan

oleh pelanggan.

Tabel 2 berikut ini akan memberikan uraian tentang beberapa definisi yang

diberikan oleh Stewart, Sveiby, dan Edvinsson.

Tabel 2

Definisi-definisi Intellectual Capital

Human Capital Structural Capital Customer Capital

Sveiby, 1997 Involves capacity to act in

wide variety of situation

to create both tangible

and intangible assets.

Internal structure

include patents,

concepts, models, and

computer and

administrative systems

The external

structure include

relationships with

costumers and

suppliers. It also

encompassess brand

names, trademarks,

and the company’s

reputation or image.

sambungan Tabel 2

Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 5, No. 1, Mei 2003: 35 – 57

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

40

Human Capital Structural Capital Customer Capital

Stewart,

1997

Money talks but it does not think: machines perform, often better than any human being can, but do not intent…(the) primary purpose of the human capital is innovation whether of new products and services or if improving in business process. Knowledge that doesn’t go home at night…it belongs to organization as a whole. It can be reproduced and shared…technologies, invention data,publications,…strategyand culture, structures and systems, organizational routines and procedures. …is” the value of its franchine, it’s on going relationships with the people or organizations to which it sells…(like) market share, customer retention and defection rates, per costumer profitability

Edvinssons,1997

Combined knowledge,skill, innnovativeness and ability of the company’s’individual

employees…it also includes the company’s’value, culture, and philosophy. The company’s value, culture, and philosophy. The company can not own human capital Hardware, software, data base, organizational structure, patents, trademarks, and everything else of organizational capability that supports those employee’s productivity…(it is) everything left at the office when the employees go home…unlike human capital, stuructural capital. Can be owned and thereby traded. (Sumber: Mouritsen, Larsen, P. N. Bukh 2000)

(Partanen 1998) menyebutkan bahwa perbedaan yang sangat mencolok dari

pengelompokkan intellectual capital dinyatakan oleh Annie Brooking. Brooking

mengelompokkan intellectual capital sebagai berikut:

Market assets atau Costumer assets; brand, konsumen, loyalitas konsumen,

jaringan distribusi, pemasok dan lain-lain.

human-centered assets: keterampilan dan keahlian, kemampuan menyalesaikan

masalah, gaya kepemimpinan, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan karyawan

.

  1. Intellectual property assets: kecakapan teknik, merek dagang, paten dan hal-hal

yang tidak berwujud lainnya yang berhubungan dengan hak cipta.

  1. Infrastructure assets: seluruh hal yang berkaitan dengan teknologi, proses dan

metodologi yang memungkinkan sebuah perusahaan berfungsi.

Rincian elemen yang dapat diklasifikasikan sebagai elemen dari keempat komponen

intellectual capital dapat dilihat pada tabel 3. Elemen-elemen ini biasa disebut

Intellectual assets.

Tabel 3

Taksonomi Elemen-Elemen Intellectual Capital

Intellectual Capital: Perlakuan, Pengukuran Dan Pelaporan (Sawarjuwono)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

41

HUMAN CAPITAL RELATIONAL

(CUSTOMER)

ORGANIZATIONAL (STRUCTURAL)

CAPITAL

Intellectual

Property

Infrastructure Capital

  • Know how · Brands · Patents · Management philosophy
  • Education · Customers (names,

purchase history)

  • Copyrights · Corporate culture
  • Vocational qualification · Customer loyalty · Design rights · Management processes
  • Work-related knowledge · Customer penetration

and breadth

  • Trade secrets · Information systems
  • Occupational assessments · Company names · Trademarks · Networking systems
  • Psychometric assessments · Backlog orders · Service marks · Financial relations
  • Work-related competences · Distribution channels · Trade dress · Corporate strategies
  • Models and frameworks · Business collaborations

(joint ventures)

  • Corporate methods
  • Cultural diversity · Licensing agreements · Sales tools
  • Favorable contracts · Knowledge bases
  • Franchising agreements · Expert networks and teams
  • Corporate values

(Sumber: Brooking, Annie 1996, IC: Core Assets for Third Millenium Enterprise.

Thomson Business Press. London-England. Diadopsi oleh Partanen, Timo 1998:66).

Dalam Gambar 1 berikut ini dapat dilihat bagaimana human capital berperan

sebagai balok pembangun organizational capital perusahaan. Kolaborasi antara human

capital dan organizational capital ini akan menghasilkan costumer capital yang sukses.

Pada pusat dari ketiga bentuk intellectual capital tersebut terdapat finacial capital atau

value yang dihasilkan oleh intraksi dari ketiga komponen tesebut. Interaksi tersebut

adalah interaksi yang dinamis, terus menerus, dan luas, sehingga semakin meningkat

interaksi ketiga komponen, semakin besar nilai yang dihasilkan (IFAC 1998).

Gambar 1

Value Platform of Intellectual Capital

Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 5, No. 1, Mei 2003: 35 – 57

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

42

(Sumber: Saint-Onge, Hubert, Charles Armstrong, Gordon Petrash, Leif

Edvinsson&Malone. 1997. Hal. 146 diadopsi oleh: Financial and Management

Accounting Committee 1998:7).

  1. MODAL INTELEKTUAL SEBAGAI ASET PERUSAHAAN

Hal yang selalu menjadi pertanyaan adalah dapatkah modal intelektual disebut

aset? Jika mengacu pada definisi yang ada dalam SFAC No.3, disebutkan bahwa

karakteristik suatu aset adalah probable future economic benefits obtained or

controled by particular entity as a result of past transaction or events bahwa aktiva

merupakan kemungkinan manfaat ekonomi masa depan yang didapatkan dan dikontrol

oleh entitas sebagai hasil peristiwa atau transaksi masa lampau maka penulis

berkesimpulan bahwa pada intinya suatu aktiva merupakan manfaat ekonomik dimasa

yang akan datang, yang dapat dikuasai atau dikendalikan oleh perusahaan dan berasal

dari transaksi masa lalu.

Sifat-sifat dasar aktiva berikut ini akan dijelaskan dalam hubungannya dengan

modal intelektual, yaitu:

  1. Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan sehubungan dengan pengembangan

komponen utama modal intelektual berupa human capital, structural capital dan

costumer capital, akan memberikan manfaat dimasa yang akan datang, yang

selanjutnya akan menunjang going concern dan demi tercapainya tujuan (goal

achievment) perusahaan.

HUMAN

CAPITAL

ORGANIZATIONAL

(STRUCTURAL)

CAPITAL

COSTUMER

(RELATIONAL)

CAPITAL

VALUE

DEPICTS

KNOWLEDGE

FLOW

Intellectual Capital: Perlakuan, Pengukuran Dan Pelaporan (Sawarjuwono)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

43

  1. Modal intelektual tidak dimiliki oleh perusahaan sepenuhnya, karena apa yang

dimiliki oleh perusahaan adalah potensi yang ada di dalam ketiga komponen utama

modal intelektual.

  1. Human capital, structural capital, dan costumer capital merupakan hasil dari

transaksi masa lalu yang dilakukan oleh perusahaan.

(Koenig 2000) menyebutkan bahwa:

What is striking of course is that most of the classic business book-value assets,

(physical plant, raw material, inventory, etc.) appear under the phrase

“complementary assets”. The implication is clear, that intellectual capital is the core

asset. This represents not just a new emphasis on intellectual capital, but a

complete sea change in how we think about assets – indeed how we think about the

very essence of a corporation.

Melalui pernyataan Koenig diatas, pemahaman kita atas sebuah aset harus diubah.

Penulis mendukung adanya perlakuan modal intelektual sebagai core asset yang

menjadi salah satu faktor ekonomi dari sebuah produksi disamping faktor tradisional

seperti tanah, modal keuangan, dan modal fisik lainnya. Namun, seperti yang telah

diuraikan sebelumnya, penulis berpendapat bahwa modal intelektual hanya dapat

dianggap sebagai aset dan belum dapat diperlakukan sebagai aset seperti aset-aset

lainnya yang dapat diukur dan dilaporkan dalan laporan keuangan perusahaan karena

sulitnya pengukuran terhadap aset ini.

  1. METODE PENELITIAN

Mempertimbangkan kelangkaan penelitian tentang modal intelektual, maka

penelitian ini berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana perlakuan,

pengukuran dan pelaporan modal inteletual dalam perusahaan. Tujuannya yaitu

memberikan suatu wacana tambahan tentang perkembangan pemikiran terhadap

pengukuran dan pelaporan akuntansi modal intelektual.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menerapkan metode

penelitian kepustakaan (library research). Penelitian berbasis literatur merupakan

bentuk penelitian yang menggunakan literatur sebagai obyek kajian. Pendekatan ini

sangat sesuai untuk kondisi Indonesia karena masih terbatasnya perusahaan yang

mengimplementasikan hal tersebut.

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu buku-buku,

majalah-majalah dan dokumen-dokumen tertulis. Selain itu digunakan juga artikelartikel

yang diambil dari jurnal-jurnal akuntansi.

Sedangkan untuk menjawab permasalahan, teknik analisis yang digunakan adalah

teknik content analysis. Dalam teknik ini diperlukan data untuk menjawab setiap

tahap penelitian, kemudian dilakukan content analysis terhadap data tersebut untuk

menjawab atau mendeskripsikan pertanyaan penelitian pada tahap tersebut. Hasil

content analysis ini kemudian digunakan sebagai bahan untuk menjawab pertanyaan

penelitian pada tahap selanjutnya bersama dengan data lain yang diperoleh.

  1. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN PENGUKURAN MODAL INTELEKTUAL

Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 5, No. 1, Mei 2003: 35 – 57

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

44

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perlakuan akuntansi terhadap modal

intelektual masih menjadi dilema bagi para praktisi akuntansi maupun menajer

perusahaan. Namun tidak dapat dipungkiri masalah baru akan muncul jika

pengukuran terhadap modal intelektual perusahaan tidak dilakukan. Hal yang akan

terjadi adalah adanya missallocation dan perbedaan informasi antara pihak perusahaan

dengan investor.

Ada banyak konsep pengukuran modal intelektual yang dikembangkan oleh para

peneliti saat ini, jika ditelaah lebih jauh maka metode yang dikembangkan tersebut

dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok, yaitu: pengukuran non monetary (non

financial) dan pengukuran monetary (financial) (Hartono 2001). Saat ini cukup banyak

perusahaan yang menggunakan ukuran financial dalam menilai kinerja perusahaan (J.

Knight 1999). Sementara itu (Thornburg 1994) mengutip pendapat Edvinsson

menyatakan bahwa:

Non financial measures that help a company determine direction and predict

success might include the number of costumers the company has, the number of

ideas customer bring to the company and how they are developed, the number of

software packages compared to the number of employees, how many people are tied

into the internet system, how much networking is done between customers and

employees, and similar measures that show the relationship between human,

customer and structural capital.

(Hartono 2001) menguraikan beberapa keunggulan menggunakan pengukuran non

moneter dalam mengukur intangible assets perusahaan. Keunggulan tersebut adalah

sebagai berikut:

  • Pengukuran secara non moneter akan mudah untuk menunjukkan unsur-unsur

yang membangun modal intelektual dalam perusahaan, sedangkan secara moneter

hal itu akan sulit dilakukan.

  • Pengaruh internal development dalam pembentukan modal intelektual tidak dapat

diukur dengan pengukuran atribut moneter.

  • Pengkapitalisasian biaya menjadi asset akan mengakibatkan adanya manipulasi

terhadap laba.

Banyak peneliti luar negeri yang telah melakukan penelitian dalam pengukuran

modal intelektual, baik secara literatur maupun penerapan langsung pada perusahaan.

Diawali tahun 1992, Arthur Andersen melaksanakan riset terhadap penilaian asset

tidak berwujud. Survey dilakukan pada sejumlah perusahaan di Inggris. Dari hasil

survey tersebut Andersen memberikan beberapa metode yang dapat digunakan untuk

menilai aktiva tidak berwujud perusahaan (Partanen 1998), yaitu:

  1. Market Based, yang meliputi nilai pasar yang dapat disamakan.
  2. Economic Based, meliputi net cash flow/earnings, kontribusi brand, metode royalti.
  3. Hybrid Based Model, meliputi pendekatan aset dan premium (PE).

Lebih lanjut (Partanen 1998) menyebutkan bahwa “all of the models rejected the

historical cost based methods expect in special cases”.

(Luthy 1998) mengelompokkan metode pengukuran modal intelektual kedalam dua

kelompok besar, yaitu: metode yang dilakukan dengan component by component

evaluation dan metode pengukuran yang dilakukan dengan mengukur nilai intellectual

Intellectual Capital: Perlakuan, Pengukuran Dan Pelaporan (Sawarjuwono)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

45

assets dalam istilah keuangan pada tingkatan organisasi tanpa mengacu pada

komponen–komponen individual modal intelektual.

Lebih lanjut (Luthy 1998) mengungkapkan bahwa dalam metode component by

component evaluation terdapat dua cara yang digunakan untuk mengklasifikasikan

komponen-komponen modal intelektual, yaitu Model Edvinsson/Malone yang

merupakan dasar dari pendekatan Skandia “Navigator”. Pendekatan ini telah

diilustrasikan dan dipublikasikan dalam suplemen laporan tahunan Skandia kepada

para pemegang saham. Model Brooking yang menjadi dasar “Dream Ticket” dan

pendekatan target yang diilustrasikan sebagai bagian dari audit modal intelektual.

Sedangkan dalam metode pengukuran dengan menggunakan dasar keuangan pada

tingkatan perusahaan (Luthy 1998) menganjurkan penggunaan metode Market to Book

Value, Tobin’s Q, dan Calculated Intangible Value.

(Stewart 1998) dan (IFAC 1998) juga menganjurkan penggunaan Market to Book

Value, Tobin’s “Q”, dan Calculated Intangible Value sebagai alat pembanding

keberadaan modal intelektual dalam perusahaan. Disamping ketiga metode tersebut

(Stewart 1998) seperti yang dikutip oleh (Partanen 1998) menganjurkan “a type of over

all intellectual capital measurement system that integrates key costumer capital, key

human capital, and key structural capital mesures along with a market to book capital

measures”.

Dengan mengacu pada pandangan yang diberikan oleh Commissioner Wallman

disebutkan bahwa ada tiga metode yang dapat digunakan dalam bidang akuntansi guna

mengukur dan melaporkan modal intelektual perusahaan. Ketiga metode ini dibagi

kedalam dua kelompok pengukuran yaitu metode pengukuran secara langsung (direct

intellectual capital method) dan tidak langsung (indirect method). Berikut ini adalah

penjelasan dari kedua metode pengukuran tersebut (Abdolmohammadi 1999).

  1. Indirect Methods. Metode ini menggunakan laporan keuangan seperti yang selama

ini dikenal. Metode-metode yang termasuk dalam kelompok ini adalah:

  1. Metode yang menggunakan konsep Return On Asset (ROA)

Metode ini menghitung kelebihan return dari tangible assets milik perusahaan

dan menganggapnya sebagai intangible assets untuk dihitung sebagai intellectual

capital. Metode ini mudah untuk disajikan karena seluruh informasi telah

tersedia dengan mudah pada laporan tahunan, dan dapat segera dibandingkan

dengan rata-rata perusahaan sejenis. Kelemahannya adalah metode ini hanya

mengukur intellectual capital perusahaan masa lalu karena masih mendasarkan

pada historical cost, dan belum dapat diterapkan pada perusahaan baru.

  1. Metode Market Capitalization Method (MCM) yang memerlukan penyesuaian

atas inflasi dan replacement cost.

Metode ini melaporkan kelebihan kapitalisasi pasar perusahaan (yang

dicerminkan dengan nilai pasar saham) atas stockholders equity (setelah

disesuaikan dengan inflasi dan replacement cost) sebagai nilai intellectual

capital. Salah satu metode yang terkenal adalah Tobin’s “Q”. Kelemahan dari

metode ini adalah ketergantungan sepenuhnya pada pasar, dengan asumsi pasar

efisien dan tidak disyaratkannya laporan keuangan yang telah disesuaikan

terhadap inflasi.

  1. Direct Intellectual Capital (DIC) Methods. Metode ini langsung menuju ke komponen

intellectual capital. Variabel-variabel intellectual capital dikelompokkan dalam

kategori, kemudian dibagi ke dalam komponen-komponen. Masing-masing

Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 5, No. 1, Mei 2003: 35 – 57

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

46

komponen diidentifikasikan dan diukur terpisah sebelum dikompilasi menjadi satu

kelompok intellectual capital. Contohnya, (Brooking 1996) mengkasifikasikan

intellectual capital menjadi empat kategori:

  1. Market assets (misalnya merk, loyalitas konsumen)
  2. Intellectual property assets (misalnya paten, rahasia dagang)
  3. Human–centered assets (misalnya pendidikan, penguasaan pekerjaan)
  4. Infrastructure assets (misalnya filosofi manajemen, budaya perusahaan)

Kuantifikasi komponen-komponen ini ke dalam unit moneter cukup sulit karena

harus mencakup berbagai satuan yang berbeda, nilai mata uang, serta rasio-rasio

lainnya. Salah satu cara yang mudah adalah menggunakan koefisien untuk

komponen-komponen tersebut. Hal ini seperti yang digunakan oleh Skandia dimana

dalam menghitung nilai mata uang digunakan koefisien “c”, “i” untuk mengukur

komponen-komponen intellectual capital dalam rasio, dan nilai moneter dari

intellectual capital ditetapkan dengan mengalikan “i” dan “c”.

Seiring dengan semakin banyak riset terhadap metode pengukuran modal

intelektual, (Sveiby 2001) mencoba mengklasifikasikan 21 metode pengukuran yang ada

kedalam empat kelompok besar. Keempat kelompok itu adalah sebagai berikut (Luthy

1998):

  1. Direct Intellectual Capital Methods (DIC). Estimasi nilai dolar dari aset tidak

berwujud dilakukan dengan cara mengidentifikasi komponen-komponen yang

bervariasi. Sekali komponen-komponen ini dapat diidentifikasikan, komponenkomponen

tersebut langsung dapat dievaluasi baik secara individu maupun sebagai

suatu koefisien agregat (aggregated coefficient).

  1. Market Capitalization Methods (MCM). Perhitungan terhadap perbedaan antara

kapitalisasi pasar perusahaan dengan ekuitas pemegang sahamnya sebagai nilai

dari modal intelektual atau intangible assets perusahaan.

  1. Return On Assets (ROA). Rata–rata laba sebelum pajak dalam suatu periode dibagi

dengan nila aset berwujud. Hasil dari pembagian ini merupakan return on assets

perusahaan yang dapat dibandingkan dengan rata-rata industri.

  1. Scorecards Methods (SC). Komponen–komponen dari aset tidak berwujud atau

modal intelektual diidentifikasikan. Dan indikator-indikator yang ada dilaporkan

dalam bentuk scorecards atau grafik. Metode Scorecard ini hampir sama dengan

metode direct intellectual capital yang mengharapkan tidak ada estimasi yang

dibuat dari nilai dolar asset tidak berwujud.

Metode-metode ini memiliki manfaat sebagai berikut (Sveiby 2001):

  1. Metode – metode yang menawarkan penilaian dalam dolar seperti return on asset

dan market capitalization method digunakan dalam situasi merger, akuisisi dan

penilaian harga pasar saham. Metode ini dapat juga digunakan untuk

membandingkan perusahaan yang berada dalam industri yang sama. Metode ini

juga sangat tepat untuk mengilustrasikan nilai keuangan aset tidak berwujud.

Metode-metode ini telah mengalami pembuktian yang cukup lama dalam bidang

akuntansi sehingga mudah dikomunikasikan diantara para praktisi akuntansi.

Kelemahan metode ini adalah pengubahan segala sesuatu kedalam nilai uang akan

memberikan kedangkalan makna.

  1. Manfaat direct intellectual capital dan metode scorecard adalah kemampuannya

untuk menghasilkan gambaran yang lebih komprehensif dari kondisi kesehatan

Intellectual Capital: Perlakuan, Pengukuran Dan Pelaporan (Sawarjuwono)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

47

sebuah organisasi dari pada financial metrics, serta lebih mudah diterapkan pada

setiap level organisasi. Metode-metode ini lebih menggambarkan kejadian yang

sebenarnya dan pelaporan dapat lebih cepat dan lebih akurat dari pada pengukuran

keuangan. Metode-metode ini sangat berguna bagi organisasi non laba, departemen

internal, organisasi sektor publik dan untuk tujuan yang berhubungan dengan

kegiatan sosial maupun lingkungan. Kelemahan metode ini terletak pada indikatorindikator

yang bersifat kontekstual dan harus sesuai untuk setiap organisasi dan

setiap tujuan, dimana perbandingannya sangat sulit. Metode-metode ini masih baru

sehingga tidaklah mudah untuk diterima oleh para manajer yang biasa melihat

segala sesuatu dari perspektif keuangan.

Tidak satupun metode yang dapat memenuhi semua tujuan yang diinginkan,

sehingga salah satu metode harus dipilih untuk memenuhi satu tujuan dengan satu

situasi dan audience yang berbeda. Pada gambar 2 dapat dilihat pengelompokkan ke-21

metode (Sveiby 2001). Pengelompokkan lainnya yang dilakukan terhadap metode

pengukuran modal intelektual (Luu et al. 2001) dari Australia. Mereka

mengelompokkan modal intelektual ke dalam dua kelompok, yaitu external measures

dan internal measures. Suatu metode dikelompokkan ke dalam pengukuran internal,

karena pengukuran dan pelaporan terhadap aktiva tidak berwujud dengan metode ini

ditujukan untuk memperbaiki manajemen dalam hal pengambilan keputusan bisnis.

Fokus lebih pada penganggaran, training, dan sumber daya manusia. Metode-metode

yang dikelompokkan kedalam kelompok ini adalah Human Resources Accounting, The

Intangible Assets Monitor, The Skandia Navigator, dan Balance Scorecards.

Sedangkan metode-metode yang dikelompokkan kedalam pengukuran eksternal

merupakan metode yang menilai bagaimana pengaruh aktiva tidak berwujud terhadap

kinerja perusahaan yang merupakan faktor utama penyebab perbedaan yang sangat

besar antara nilai pasar dan nilai buku perusahaan yang ada pada pasar modal.

Metode-metode yang dikelompokkan dalam kelompok ini adalah Market to Book Value,

Tobin’s “Q”, Calculated Intangible Value, dan pendekatan yang baru yaitu Real Option-

Based Approach.

Gambar 2

Intangible Assets Measuring Models

Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 5, No. 1, Mei 2003: 35 – 57

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

48

(Sumber: Sveiby 2001)

Tabel 4 berikut ini adalah bagan yang akan menyimpulkan beberapa

pengklasifikasian yang dilakukan oleh para penganjur dan pendukung modal

intelektual.

Tabel 4

Pengklasifikasian Intellectual Capital Berdasarkan Penganjur

Penganjur Pengklasifikasian Intellectual Capital

David H. Luthy (1998)

  1. Component by Component Measurement
  • Edvinsson and Malone Approach, “Skandia

Navigator”.

  • Brooking Approach “Dream Ticket”/IC audit.

  • Balanced Scorecard

  1. Organizational Level/Financial Basis Measurement
  • Market to Book Value

  • Tobin’s “Q”

  • Calculated Intangible Value

sambungan Tabel 4

  1. Indirect Methods

Intellectual Capital: Perlakuan, Pengukuran Dan Pelaporan (Sawarjuwono)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

49

Mohammad J. Abdolmohammadi

(1999)

Luu, Wykes, Williams, Weir

(2001)

Karl – Erik Sveiby (2001)

  • Return On Assets (ROA) Method

  • Market Capitalization Method (MCM)

  1. Direct Intellectual Capital (DIC) Methods
  • Market Assets

  • Intellectual Property Assets

  • Human Centered Assets

  • Infrastructure Assets

  1. External Measures
  • Market to Book Values

  • Tobin’s “Q”

  • Calculated Intangible Value

  1. Internal Measures
  • Human Resources Accounting

  • The Intangible Assets Monitor

  • Skandia Navigator

  • Balanced Score card

  1. Direct Intellectual Capital Methods
  • Technology Broker

  • Citation Weighted Patents

  • Inclusive Valuation Methodology

  • The Value Explorer TM

  • Intellectual Asset Valuation

  • Total Value Creation (TVC) TM

  • Accounting For The Future (AFTF)

  1. Market Capitalization Methods (MCM)
  • Tobin’s “Q”

  • Investor Assigned Market Value (IAMVTM)

  • Market To Book Value

  1. Return On Assets
  • Economic Value Added (EVATM)

  • Human Resources Costing & Accounting

(HRCA)

  • Calculated Intangible Value

  • Knowledge Capital Earnings

  • Value Added Intellectual Coefficient (VAIC)TM

  1. Score Cards
  • Human Capital Intellegence

  • Skandia NavigatorTM

  • Value Chain Scoreboard

  • IC-IndexTM

  • Intangible Assets Monitor

  • Balanced Scorecard

(Sumber: Data olahan)

Dari uraian sebelumnya telah dibahas tentang perkembangan pemikiran terhadap

pengukuran modal intelektual. Tabel 5 berikut ini akan memberikan ikhtisar

perkembangan pemikiran terhadap pengukuran modal intelektual yang dilakukan oleh

para praktisi yang merupakan hasil kompilasi (Sveiby 2001 dan Bontis 2000).

Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 5, No. 1, Mei 2003: 35 – 57

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

50

Tabel 5

Ikhtisar Perkembangan Pemikiran Pengukuran

1985 Perusahaan asuransi Skandia menerbitkan IC report

yang ditujukan untuk pihak internal perusahaan

1992 Arthur Andersen menyarankan penggunaan metode

market based, economic based, hybrid basede,untuk

menilai aset tidak berwujud

Kaplan dan Norton memperkenalkan balance scorecard

untuk mengukur kinerja perusahaan dengan melihat

empat prespektif (keuangan, pelanggan, proses internal, dan

perspektif pembelajaran

1994 Jac Fitz-Enz memperkenalkan human capital intelegence

Skandia menerbitkan Visualizing Intellectual Capital In

Skandia

1995 Johan Roos, Goran Roos, Nicolas C. Dragonetti, dan Leif

Edvinsson memperkenalkan IC-Index

1996 Annie Brooking, memperkenalkan Technology Broker

Nick Bontis menganjurkan penggunaan Citation Weighted

Patents (FM, Scherer, Mid. 1960)untuk mengukur modal

intelektual

Johanssons memperkenalkan Human Resouces Costing

and Accounting

1997 Thomas Steward menyarankan penggunaan Tobin’s Q,

Market to Book Ratio, Calculated Intangible Value

Karl-Eric Sveiby memeperkenalkan intangible Assets Monitor

Ante Pulic memperkenalkan Value Added Intellectual

Coifficient (VAIC)

Leif Edvinsson dan Malone memperkenalkan Skandia

Navigator

1998 David Luthy menyarankan penggunaan Calculated Intangible

Value dan Market to Book Ratio

Ken Standfield memperkenalkan Investor Assigned Market

Value (IAMV)

Nash H. memperkenalkan Accounting For The Future (AFTF

Mc. Person memperkenalkan penggunaan Inclusive Valuation

Methodology

1999 Nick Bontis menyarankan penggunaan Tobin’s Q, Management

Value Added, Economic Value Added

sambungan Tabel 5

Ken Standfield memperkenalkan penggunan Knowcorp

Baruch Lev memperkenalkan penggunaan Knowledge

capital Earnings

Intellectual Capital: Perlakuan, Pengukuran Dan Pelaporan (Sawarjuwono)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

51

Daniel J. Knight memperkenalkan penggunaan Balance

Performance Measurement System yang merupakan

pengembangan dari Balance Scorecard.

2000 Adriessendan Tiesse (KPMG) memperkenalkan The Value

Explore

Patric Sullivan memperkenalkan Intellectual Assets Valuation

Andersen R. dan Mc. Lean R. memperkenalkan Total Value

Creation (TFC)

Baruch Lev memperkenalkan Value Chain Score Card

(Sumber : Data olahan)

  1. INTELLECTUAL CAPITAL STATEMENT: UPAYA PENGUNGKAPAN

MODAL INTELEKTUAL

Perubahan lingkungan bisnis saat ini memberikan banyak pengaruh dalam

pelaporan keuangan perusahaan, terutama dalam hal penyajian dan penilaian aset

tidak berwujud (Sveiby 1998; Lev and Zambon 2000; Tapsell 1998; Bontis 2000 Stewart

1998). Kegagalan current financial statements dalam memberikan informasi tentang

apa yang menjadi pencipta nilai dalam perusahaan, merupakan salah satu yang ikut

mempengaruhi. Commisionner Steven M. H. Wallman menyarankan perusahaan

untuk mulai mengungkapkan “hidden assets” yang dimilikinya dengan menerbitkan

pernyataan tambahan (suplemen) dalam laporan tahunan yang dipublikasikan (Brinker

2000).

Dari literatur-literatur yang berhasil dikumpulkan, kebanyakan para penulis

(Stewart 1998; Sveiby 1998; Roos et al. 1997) membahas tentang pengukuran modal

intelektual. Sedangkan bagaimana pelaporan modal intelektual dibuat, masih jarang

dibahas. Disamping itu publikasi terhadap modal intelektual masih sangat jarang

dilakukan. Namun beberapa perusahaan yang berada di Skandinavia misalnya Skandia

AFS dan Amerika misalnya Dow Chemicals, Coca-cola, IBM mulai membuat sebuah

laporan yang berbeda dari laporan tradisional yang terfokus pada financial.

Seperti halnya dengan pengukuran modal intelektual, pelaporan aset ini belum

dibuatkan sebuah standard tertentu. Beberapa penulis (Bontis 2000; Sveiby 1998;

Mouritsen et al. 2000; Roos et al. 1997) menyarankan untuk melakukan pelaporan

keuangan ke dalam dua bentuk, yaitu laporan keuangan yang lama dalam ukuran

moneter ditambah dengan laporan khusus tentang modal intelektual dengan ukuran

non moneter (Bontis 1999) menyatakan bahwa:

“Adding a flow perspective to the stock perspective is akin to adding a profit and

loss statement to a balance sheet in accounting. The two perspectives combined (or

the two reporting tools, in the case of accounting) provide much more information

than any single one alone. At the same time, intellectual capital flow reporting

presents some additional challenges in terms of complexity.”

Pernyataan ini juga menunjukkan pentingnya laporan tambahan yang

menguraikan modal intelektual dalam perusahaan. Usulan-usulan ini dapat diterima

Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 5, No. 1, Mei 2003: 35 – 57

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

52

oleh berbagai kalangan dan secara umum pelaporan terhadap modal intelektual

perusahaan biasa disebut stetement of intellectual capital.

Banyak penelitian dilakukan berkaitan dengan pelaporan MI. Badan akuntansi

internasional seperti International Federation of Accountants (IFAC), International

Accounting Standards Committee (IASC), Society of Management Accountants of

Canada (SMAC) juga sedang melakukan pengujian terhadap kerangka kerja

pengelolaan dan pelaporan modal intelektual perusahaan.

Penelitian terhadap pelaporan modal intelektual ini juga dilakukan oleh Guthrie dan

Petty (2000) yang melakukan penelitian terhadap 20 perusahaan di Australia yang

telah terdaftar pada bursa efek (Satyo 2000; Mouritsen et al. 2000). Penelitian ini

mengacu pada model pembagian modal intelektual yang dikemukakan oleh Edvinsson

(1997), Roos et al. (1997), Stewart (1997) dan Sveiby (1998). Hasil penelitian ini

menunjukkan porsi pengungkapan setiap elemen modal intelektual, dimana 30%

indikator digunakan untuk mengungkapkan human capital, 30% organizational capital

(internal structure) dan 40% customer capital (external structure). Disamping hal-hal

diatas, riset Guthrie dan Petty (2000) menunjukkan bahwa:

  1. Pengungkapan modal intelektual lebih banyak (95%) disajikan secara terpisah dan

tidak ada yang disajikan dalam angka atau kuantitatif. Hal ini mendukung

pandangan yang selama ini kuat yaitu aktiva tidak berwujud atau modal intelektual

sulit untuk dikuantifikasikan.

  1. Pengungkapan mengenai modal eksternal lebih banyak dilakukan oleh perusahaan.

Tidak terdapat pola tertentu dalam laporan-laporan tersebut. Hal-hal yang banyak

diungkapkan menyebar diantara ketiga elemen modal intelektual.

  1. Pelaporan dan pengungkapan modal intelektual dilakukan masih secara sebagian

dan belum menyeluruh.

  1. Secara keseluruhan perusahaan menekankan bahwa modal intelektual merupakan

hal penting untuk menuju sukses dalam menhadapi persaingan masa depan.

Namun hal itu belum dapat diterjemahkan dalam suatu pesan yang solid dan

koheren dalam laporan tahunan.

Statement of intellectual capital merupakan suatu fenomena baru, baik sebagai

suatu dokumen pelaporan yang menyertai laporan tahunan maupun sebagai suatu

konsep manajemen. Namun masih sedikit perusahaan yang menggunakannya sebagai

dokumen pendukung laporan tahunan.

Peneltian secara mendalam terhadap pembuatan laporan modal intelektual

dilakukan oleh P. N. Bukh dari Aarhus School of Business School dan H. T. Larsen

serta Jan Mouritsen dari Copenhagen Business School. Penelitian ini merupakan

proyek yang dilaksanakan selama tiga tahun oleh The Danish Agency for Development

of Trade and Industry, Copenhagen Business School, University of Aarhus dan Arthur

Andersen dengan 19 perusahaan di Denmark. Proyek ini bertujuan untuk membantu

ke-19 perusahaan tersebut untuk membuat intellectual capital statement tahun 1998

dan 1999 yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perusahaan.

Penelitian itu membuat suatu kerangka kerja untuk menganalisis dan

menginterpretasikan intellectual capital statement. Kerangka kerja ini dibagi dalam

tiga model, yaitu: (Mouritsen et al. 2001).

  1. An analytical Model

Intellectual Capital: Perlakuan, Pengukuran Dan Pelaporan (Sawarjuwono)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

53

Analytical model mempunyai kriteria dan dimensi yang sama dengan apa yang ada

dalam intellectual capital accounting system. Namun analytical model memberikan

sekumpulan penjelasan umum tentang relevansi knowledge management dan

prestasi perusahaan berkaitan dengan aktifitas-aktifitas yang ada. Hal ini

diidentifikasikan dengan istilah a narrated organizational identity yang terletak

pada sebelah kiri pada Gambar 3. Menurut Czarniawska Narrated organizational

identity adalah sebuah cerita (Mouritsen et al. 2001). Lebih lanjut disebutkan bahwa

in the analytical model it acts as the explanation of the activities that management

performs in relation to the metrics in the inner part of the analytical model, i. c.

what we will denote knowledge management” (Mouritsen et al. 2001).

Pada analytical model beberapa cerita yang umum dapat diungkapkan. Cerita-cerita

yang bersifat umum ini bukan hanya berkaitan dengan perusahaan saja tetapi

berkaitan pula dengan angka-angka dalam model akuntansi umum. Model

akuntansi umum merupakan analogi dari model akuntansi keuangan dimana

matrik-matrik yang ditemukan dalam intellectual capital statement dapat

diinterpretasikan dalam kerangka kerja analytical model sebagai pendukung ceritacerita

umum.

Gambar 3

The Analytical Accounting System

Knowledge

Narrative

(Knowledge Strategy)

Effects Activities

Qualifying

activities

Competencies

Qualification

Management

Areas

Domain

Management

arena

Modality

Monitoring of

effects

Resources

Portfolio

Portfolio

Management

Employees

Customers

Publics

Process

Technology

(Sumber: Mouritsen, J., Bukh, P. N. dan Larsen, H. T. 2001)

  1. Presentation Model

Model yang tampak jelas pada laporan modal intelektual adalah presentation model.

Karekteristik utama dari model ini adalah kemampuannya untuk menunjukkan

bentuk informasi dan bentuk wewenang yang akan menjadi fokus dalam pelaporan

dan bagaimana elemen-elemen ini saling berkaitan satu dengan lainnya.

Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 5, No. 1, Mei 2003: 35 – 57

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

54

Presentation model biasanya digambarkan dalam bentuk sketsa atau berbagai

bentuk diagram.

  1. The Management model

Presentation model tidak berhubungan langsung dengan aktivitas manajemen.

Model ini dibuat melalui management model yang mengidentifikasikan bagaimana

produktifitas knowledge dalam perusahaan dan hubungan timbal balik dari aktifitas

manajemen tersebut. Dalam hal ini management model digunakan untuk

memahami relevansi dari ukuran-ukuran yang ada dalam laporan modal

intelektual.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa intellectual capital statement

merupakan bentuk laporan yang kompleks yang mengkombinasikan angka, narasi dari

pengetahuan yang dimiliki oleh perusahaan dan visualsasi yang dapat berupa sketsa

yang memberikan ilustrasi kerja modal intelektual.

Dengan membaca intellectual capital statement, akan ditemukan sesuatu yang

berbeda karena intellectual capital statement di bentuk dari tiga dimensi. Pertama,

intellectual capital statement memiliki beberapa bentuk dari knowledge narrative,

yaitu suatu skenario yang menceritakan kemampuan perusahaan dan bagaimana

perusahaan tersebut mampu melakukan aktivitas dengan baik. Kedua Intellectual

capital statement mengidentifikasikan sekumpulan tantangan knowledge management

berupa usaha-usaha manajemen untuk pengembangan dan kondisi pengetahuan yang

dimiliki perusahaan. Ketiga, adanya pelaporan yang mengkombinasikan angka,

visualisasi dan narasi dalam pendisainan komposisi untuk menunjukkan

pengembangan sumber pengetahuan yang dimiliki oleh perusahaan ( Mouritsen et al.

2001)

Dari uraian diatas kita dapat melihat bahwa pelaporan modal intelektual dalam

laporan tahunan perusahaan tidak dimasukkan sebagai salah satu elemen dalan neraca

walaupun modal intelektual lebih diidentikkan dengan intangible asset, hal ini

dikarenakan elemen-elemen pembentuk modal intelektual sulit untuk

dikuantifikasikan.

Alternatif yang dilakukan adalah menjadikan pelaporan modal intelektual sebagai

suplemen dalam laporan keuangan. Contoh pelaporan modal intelektual ini dapat

dilihat pada hasil proyek penelitian yang dilakukan oleh pemerintah Denmark. Hasil

penelitian ini menunjukan tidak adanya model khusus dalam pelaporan modal

intelektual. Intellectual capital statement bersifat situasional dan dibuat oleh

perusahaan dalam upaya penerapan strategi dari pada menggambarkan hubungan

historis. Metode pengukuran dan proses merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan dalam intellectual capital statement, karena keduanya akan membentuk

language dan praktek dalam modal intelektual. Intellectual capital statement tidak

mengungkapkan nilai sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan tetapi intellectual

capital statement justru mengungkapkan aspek-aspek dari aktifitas knowledge

management perusahaan, serta ukuran-ukurannya yang merupakan bagian integral

dari intellectual capital statement.

  1. KESIMPULAN

Modal intelektual yang merupakan intangible assets perusahaan menjadi aset yang

sangat bernilai. Seiring semakin bernilainya modal intelektual sebagai aset

Intellectual Capital: Perlakuan, Pengukuran Dan Pelaporan (Sawarjuwono)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

55

perusahaan, memberikan tantangan tersendiri bagi para akuntan untuk dapat

mengidentifikasikan, mengukur dan mengungkapkannya kedalam laporan keuangan

perusahaan. Hal ini disebabkan sistem akuntansi tradisional yang ada telah gagal

mengungkapkan asset ini.

Secara umum modal intelektual dibagi menjadi tiga elemen utama, yaitu: human

capital yang mencakup pengetahuan dan keterampilan pegawai, structure capital yang

mencakup teknologi dan infrastruktur informasi yang mendukungnya, costumer

capital dengan membangun hubungan yang baik dengan konsumen. Ketiga elemen ini

akan berinteraksi secara dinamis, serta terus menerus dan luas sehingga akan

menghasilkan nilai bagi perusahaan.

Dalam hal pengukuran, ada banyak konsep pengukuran modal intelektual yang

dikembangkan oleh para peneliti saat ini. Namun secara umum metode yang

dikembangkan tersebut dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok, yaitu:

pengukuran non monetary (non financial) dan pengukuran monetary (financial). Dari

model-model pengukuran yang dikembangkan masing-masing memiliki kelebihan dan

kekurangan, sehingga menurut penulis untuk memilih model mana yang paling tepat

untuk digunakan, merupakan tindakan yang tidak tepat, karena pengukuran tersebut

hanyalah sebuah alat yang dapat diterapkan pada situasi dan kondisi perusahaan

dengan spesifikasi tertentu. Sedangkan pelaporan modal intelektual dilakukan dengan

cara membuat pengukuran yang tidak bersifat moneter dan melaporkannya sebagai

sebuah suplemen dalam laporan tahunan perusahaan. Suplemen tersebut dikenal

dengan istilah intellectual capital statement.

DAFTAR PUSTAKA

Abdolmohammadi, Mohammad J. (1999), “The Components of Intellectual Capital for

Accounting Measurement”, http://www.sbaer.lka.edu/research/1999/wdsi/

99wds.024.htm

Abidin (Maret 2000), Pelaporan MI: “Upaya Mengembangkan Ukuran-ukuran Baru”,

Media Akuntansi, Edisi 7, Thn. VIII, pp. 46-47

Bontis, Nick., Nicola C. Dragonetti., Kristine, Jacobsen., and Goran, Ross (1999), “The

Knowledge Toolbox: A Review of The Tools Available To Measures and Manage

Intagible Resources”, European Management Journal. Vol. 17. No. 4, pp. 391-402

Bontis, Nick (2000), “Assessing Knowledge Assets: A Review of The Models Used To

Measure Intellectual Capital”, http://www.business.queensu.ca/kbe

Brinker, Barry (2000), “Intellectual Capital: Tomorrows Asset, Today’s Challenge”,

http://www.cpavision.org/vision/wpaper05b.cfm.

Brooking, Annie (1996), IC: Cone Assets for Rhird Millenium Eterprose, London-

England: Thomson Business Press.

International Federation of Accountants (1998), The Measurement and Management of

Intellectual capital: An Introduction, New York.

Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 5, No. 1, Mei 2003: 35 – 57

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

56

Hartono, Budi (Oktober 2001), “Intellectual Capital: Sebuah Tantangan Akuntansi

Masa Depan”, Media Akuntansi, Edisi 2, Thn VIII, hal 65-72

http://www.16.brinkster.com/jurangmangu/artikel/intelek.htm. (2 Agustus 2001).

Akuntansi Modal Intelektual.

  1. Knight, Daniel (1994), “Leveraging IC Requires A Company to Become A knowledge-

Based organization and to revise its Performance Measures Accordingly”,

Strategy & Leadership, March/April, page 23-25

Koenig, Michael (2000), “The Resurgence of Intellectual Capital: The Emphasis Shifts

From Measurement to Management”, http://www.infotoday.com/it/Sep00/

koenig.htm.

Lev, Baruch and Stefano, Zambon (2000), “Intangibles & Intellectual Capital:

Accounting & Managing Issues for The new Economy”, European Accounting

Review-Call for Papers, Vol.9, Issue no. 4, http://www.rutgers.edu/accounting/

raw/aaa/market/monograph33.htm

Luu, Nghi., Janice Wykes, Peter Williams and Tony Weir (2001), “Invisible Value: The

case for Measuring And Reporting Intellectual Capital”, ISR, (July), No. 142

Luthy, David H. (2000), “Intellectual Capital and It’s Measurement”.

http://www.bus.osaka-ca.ac.jp/aapira98/archives/htmls/25.htm.

Malone, Michael S. (1997), “New Metrics For A New Age: Two Experts Want This In

Your Next Annual Report”, Forbes ASAP, April 7, page 40-41

Mouritsen, J., Bukh P. N. and Larsen H.T. (2000), “Constructing Intellectual Capital

Statements”, Denmark

Mouritsen, J., Bukh P.N., Larsen H.T., Mikkel Gadmar and Katrine Sendergaard

(2001), Intellectual Capital Supplements At Skandia: Reading The Statement,

Denmark

Mouritsen, J., H.T. Larsen and Bukh P. N. (2001), Intellectual Capital and “The

Capable firm: Narrating, Visualizing and Numbering for Managing Knowledge,

Denmark.

———– (2001), Toward A Framework For Intellectual Capital Statemens, Denmark.

———– (2000), Intellectual Capital Statement and Knowledge Management: Measuring,

Reporting, Acting, Australia accounting Review.

Mouritsen, J., Larsen H.T., Bukh P.N., and Johansen M.K. (2000), “Reading An

Intellectual Capital Statement: Describing and Prescribing KM Strategies”.

Journal Of Accountancy, (June).

Partanen, Timo (1998), Intellectual Capital Accounting: Some Steps Toward A

Conceptual Framework For The Valuation Of Intangible Assets, Master Thesis,

Intellectual Capital: Perlakuan, Pengukuran Dan Pelaporan (Sawarjuwono)

Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

57

Department of Accounting snd Finance, Helsinky School Of Economics And

Business Administration.

Pulic. A (2000), “An Accounting Tool For Intellectual Capital Management”,

http://www.measuring-ip.at/papers/ham99txt.htm

Roos, Johan., Goran Roos, Nocola C. Dragonetti, and Leif Edvinsson (1997), Intellectual

Capital Navigating The New Business Landscape, London; MacMillan Press Ltd.

Rupert, Booth. (1998), “The Measurement of Intellectual Capital”, Management

Accounting. (Nov), Vol. 76, page 26-28

Saint-Onge, Hubert (1996), “Tacit Knowledge; The Key To The Dtrategic Aligment of

Intellectual Capital”, Strategic Leadership, (March/April), page 10

Satyo (2000), “Sulitnya Mengkuantifikasi Modal Intelektual”, Media Akuntansi,

(Oktober), No. 14/Thn VII: 45-46

Stewart, Thomas A (1991), “Brainpower”, Fortune ,Juny, page 53-55

———– (1994), “Your company’s Most Valuable Assets Intellectual Capital”, Fotune,

(October): page 68-74

———– (1998), Intellectual Capital “Modal Intelektual Kekayaan Baru Organisasi”,

Jakarta: PT Elekmedia Komputindo

Sullivan, Patrick H. (2000), “A Brief History Of The Intellectual Capital Movement”,

http://www.brookings.org.es/research/projects/intangibles/icexsum.pdf ruch_luv

Sveiby, Karl Erik (1998), “Intellectual Capital: Thingking Ahead”, Australian CPA.

June, page 18-21

———– (1998), “Measuring Intangables & Intellectual Capital – An Emerging First

standard”, http://www.sveiby.com/articles/Intangiblemethods.htm

———- (2001), “Methods for Measuring Intangible Asstes”, http://www.sveiby.com/ articles/IntangibleMethods.htm.

Tapsell, Sherill (1998), “The New Wealth Of Nations”, Management, (July), page 37 & 43.

Thornburg, Linda (1994), “Knowledge”, Human Resources Magazine, (October), page 51- 56.

Leave a comment